Guratan – guratan di wajah mu yang dulu samar-samar perlahan-lahan kian tampak
Kau sekarang seolah kehilangan aura yang dulu terpancar diwajah itu
Aura bara api perjuangan, sama seperti cermin bara api perjuangan para pejuang revolusi
Di kala bangsa ini di jajah oleh belanda
Ingin rasanya ku terus duduk di depan mu berjam-jam menghabiskan waktuku
Demi mendengarkan cerita-cerita kepahlawanan dan idealisme yang ingin kau perjuangkan
Waktu itu ingin rasanya ku menjadi seperti kau menyemangati orang-orang
Untuk bergerak bersama mewujudkan idealisme mu itu
Tapi maafkan aku, aku ditarik oleh sekelompok orang yang tidak aku percayai sebagaimana percayanya aku kepadamu
Aku tertawan pada waktu itu
Tapi kini aku sadar, ditawanan itu, aku telah menemukan, melihat garis perjuangan baru
Yang dengan berada disitu kita lebih mudah berkonsolidasi, mengajak kawan-kawan lain
Untuk berjuang lebih praktis, lebih bertenaga, lebih punya daya ledak ketimbang bayang-bayang yang sering kau ceritakan itu
Dengan berada disitu pula aku bisa menafkahi minimal diriku sendiri, dan menolong orang-orang lebih banyak
Itu lah dunia nyata kawan.
Sudah lama semenjak terakhir kita bertemu di kampus pelangi itu
Kini ketika ku kembali kesitu ternyata kau masih disana
Tampang mu pun sudah kurus, tirus, tak terawat
Memang kau disitu bak seorang raja yang disapa dan dihormati oleh yunior-yunior mu
Apakah kau ingin terus begitu?
Tidak sadarkah bahwa penghormatan itu adalah cacian halus mereka kepadamu
Cacian bahwa kau adalah orang yang terlalu lama terjebak dalam bayang-bayang kampus
Pernahkah kau memikirkan mereka-mereka, keluarga, sanak saudaramu
Yang memberikan harapan besar kepadamu
Yang kelak menjadi penyelamat mereka
Memberi kebanggaan pada mereka
Raihlah tanganku, mari kita sama-sama berjuang
Aku membutuhkan semangat mengelegar mu dulu
Yang aku akui ku tidak punya sebaik dirimu
Untuk membantuku meneruskan garis perjuangan kita dulu
Bangkitlah kawan?